Jika Air adalah Hak, Lalu Mengapa Kami Harus Membeli? - Ika Rachmani dalam Kegiatan CRPP Forum 2025

Pembahasan terkait kekeringan, gagal panen, dan kemiskinan ini dimulai dari proses PVCA (Partisipatory Vulnerability and Capacity Assessment) yang dilakukan di Gunungkidul pada tahun 2024 lalu. Sebanyak 5 desa yang tersebar di Kecamatan Ngawen, Panggang, Purwosari, dan Gedangsari telah mengikuti Kajian Risiko Bencana Komunitas yang dipandu oleh YAKKUM Emergency Unit dan Kelompok Kerja untuk Aksi Ketangguhan di DIY (POKJA DIY). Namun lebih dari sekedar diskusi, hal tersebut menggugah pikiran kami sebagai masyarakat Gunungkidul. 

 

Setiap Tahunnya Kami Mendapatkan Bantuan Air Bersih, Namun Sampai Kapan?

Permasalahan kekeringan di Gunungkidul, khususnya di Desa Giriharjo, sering kali diatasi dengan bantuan air bersih. Dalam kurun waktu tujuh bulan, kami menerima sekitar 180.000 liter untuk setiap dusun. Hal ini sudah berlangsung setiap tahunnya sejak 2018. Sejauh ini kapasitas adaptif yang telah dilakukan oleh masyarakat adalah mendirikan Penadah Air Hujan (PAH) di hampir setiap rumah dengan kapasitas kurang dari 5.000 liter. Ini menunjukkan bahwa masyarakat sangat bergantung pada air hujan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Pada saat musim penghujan, mereka menampung air sebanyak mungkin, sementara saat musim kemarau, mereka mengandalkan air yang sudah ditampung tersebut. Sayangnya, air yang ditampung tidak bertahan lama. Dalam waktu seminggu, cadangan air mereka biasanya habis, sehingga tidak jarang masyarakat membeli air tangki atau menunggu bantuan air dari pemerintah.

Setiap tahunnya, Desa Giriharjo menganggarkan sekitar Rp4.000.000, atau setara dengan USD 237,38, untuk distribusi air bersih. Namun, saya berpendapat bahwa ini bukanlah solusi jangka panjang, melainkan hanya sementara. Setelah distribusi air selesai, masyarakat kembali mengalami kekeringan. Pada Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) tahun 2022, saya mengajukan program pembuatan Penadah Air Hujan (PAH) yang kapasitasnya mencapai 5.000 liter, mencakup wilayah Padukuhan Panggang I, Panggang II, dan Panggang III di Giriharjo, yang melayani sekitar 650 rumah tangga.

Masalah ini juga saya sampaikan saat mengikuti Forum Community Resilience Partnership Program (CRPP) 2025 di Bangkok pada bulan Februari lalu. Saya berbagi cerita tentang bagaimana masyarakat Desa Giriharjo berjuang menghadapi dampak perubahan iklim. Tinggal di daerah bebatuan karst membuat kami kesulitan mengakses air tanah, namun masalah tersebut dapat diatasi dengan memanfaatkan air hujan. Namun, perubahan iklim menyebabkan pergeseran musim hujan, yang mengakibatkan musim kemarau lebih panjang daripada sebelumnya, sehingga air hujan yang dapat ditampung pun semakin sedikit.

Mayoritas masyarakat Giriharjo bekerja sebagai petani, sehingga air sangat krusial bagi kebutuhan irigasi pertanian. Ketika musim kemarau datang, petani rentan menghadapi gagal panen dan kerusakan lahan pertanian. Akibatnya, banyak dari mereka yang beralih profesi menjadi buruh di kota, karena musim tanam padi di desa kami hanya berlangsung sekali dalam setahun. Kondisi ini menyebabkan perubahan budaya masyarakat, terutama terkait dengan sistem mata pencaharian.

 

Gambar: Ika Rachmani (kanan) and Musidah (kiri) di Forum CRPP 2025

 

Refleksi Pembelajaran Pada CRPP Forum 2025

Selama mengikuti Forum Community Resilience Partnership Program (CRPP), saya dan rekan saya, Musidah dari Desa Girimulyo, memperoleh banyak sekali pembelajaran berharga. Salah satu pembelajaran penting yang saya dapatkan datang dari seorang peserta dari Filipina. Di negara tersebut, ada wilayah dengan kondisi yang bahkan lebih parah daripada Girimulyo, baik dari segi pemukiman maupun mata pencaharian. Namun, mereka mampu bertahan dan berdaya lebih baik daripada yang kami bayangkan. Di Filipina, mereka juga menghadapi ancaman gagal panen yang dapat menghabiskan seluruh aset para petani. Ketika gagal panen terjadi, petani bisa kehilangan semua aset mereka dan terpaksa menjualnya.

Saya pun merenung, jika situasi tersebut terjadi di dusun saya, apakah kami harus menjual seluruh aset kami? Rasanya pasti ada solusi lain yang bisa ditemukan. Oleh karena itu, melalui kelompok Harjo Manunggal dalam program Dana Ketangguhan Masyarakat, kami mengajukan solusi berupa peternakan ayam sebagai alternatif untuk mengatasi gagal panen dan kekurangan pangan. Dengan berternak ayam, masyarakat bisa memanfaatkan telur untuk dijual atau bahkan dikonsumsi sendiri. Mereka juga dapat mengembangbiakkan ayam baik dalam kuantitas maupun kualitas, sehingga menghasilkan daging yang bisa dimanfaatkan. Selain memberikan peluang untuk memenuhi kebutuhan gizi keluarga, peternakan ayam ini juga dapat meningkatkan pendapatan rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan lainnya, seperti air bersih.

Di bidang advokasi, saya belajar bahwa sebagai perempuan, kita sebenarnya memiliki kemampuan untuk menyampaikan pendapat secara terstruktur. Dalam forum formal, ada tata bahasa tertentu yang perlu digunakan untuk mengungkapkan pendapat dengan efektif. Di Indonesia, perempuan seringkali terbawa emosi saat berbicara, sehingga terkadang pendapat yang disampaikan terasa terlalu memaksakan dan bahkan bisa menimbulkan kesan menjengkelkan. Padahal, pemerintah sudah memiliki anggaran yang disusun dengan pertimbangan tertentu, dan sering kali kurang memahami perspektif masyarakat. Bahasa yang terlalu menggebu-gebu justru dapat mengaburkan maksud dan tujuan dari usulan tersebut. Oleh karena itu, saya merasa bahwa perlu ada peningkatan kapasitas dalam hal negosiasi dan etika berbicara di depan publik, agar pesan yang disampaikan lebih mudah diterima dan dipahami.

Selain itu, selama berada di Bangkok, saya juga belajar tentang budaya berhemat dan efisiensi yang diterapkan oleh masyarakat di sana. Pembelajaran ini saya dapatkan di luar forum, tepatnya saat jam istirahat. Saya berbincang dengan seorang pedagang restoran di Bangkok yang mengajarkan saya tentang cara memasak yang efisien. Ternyata, di Thailand, banyak pedagang restoran yang memasak dalam jumlah besar sekali waktu, kemudian menyimpannya. Ketika pelanggan datang dan memesan, mereka hanya perlu menghangatkan makanan tersebut tanpa perlu memasak dari awal. Hal ini jelas menunjukkan efisiensi waktu dan sumber daya. Selain itu, dengan memasak dalam porsi besar, mereka dapat mengurangi pemborosan makanan, karena sistem pengepakan yang sudah terukur menghindarkan dari porsi berlebihan yang akhirnya terbuang.

Pengalaman-pengalaman ini semakin memperkaya wawasan saya dan memberikan inspirasi untuk mencari solusi-solusi yang lebih berkelanjutan dan efisien bagi masyarakat di desa kami.

 
 
 
-----------------------
Penulis: Ika Rachmani – Kelompok Perempuan Harjo Manunggal