
Penguatan inklusi sangat penting untuk memastikan akses yang setara terhadap peluang, layanan dan sumber daya bagi semua individu, tanpa memandang latar belakang, kemampuan, atau identitas. Lingkungan yang inklusif mendorong dukungan timbal balik serta penghormatan terhadap keberagaman. Di Indonesia, pemahaman tentang inklusi Penguatan terkait inklusi belum merata, di antara masyarakat, lembaga pemerintah, dan para pemangku kepentingan lainnya. Melalui proyek SEHATI, sebuah konsorsium yang dipimpin oleh CBM Indonesia, YEU, dan Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia (MPBI) bertujuan menciptakan masyarakat inklusif di mana penyandang disabilitas, lansia, dan kelompok berisiko tinggi lainnya dapat hidup bermartabat dan tangguh terhadap bencana.
Sejauh ini, Proyek SEHATI telah berjalan hampir 6 bulan. Pada 5-6 Maret 2025 SEHATI menggelar pelatihan dasar untuk manajemen bencana inklusif di Jakarta, yang melibatkan dua organisasi penyandang disabilitas, yaitu Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) dan Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI). Pelatihan ini bertujuan untuk memperdalam pemahaman peserta mengenai konsep dan kebijakan manajemen bencana di Indonesia, memahami pengarusutamaan isu lintas sektor, seperti gender, keterlibatan kelompok berisiko tinggi, penyandang disabilitas, dan inklusi sosial, serta safeguarding dan memperkenalkan prinsip kemanusiaan, kode etik, dan standar inti dalam aksi kemanusiaan.
Gambar 1. Perwakilan HWDI Sulawesi Tengah mempresentasikan hasil identifikasi aspek inklusi dalam bidang-bidang kerja pelayanan penanggulangan bencana
Terdapat tiga topik yang dibahas dan didiskusikan pada pelatihan hari pertama, yaitu pengenalan disabilitas, konsep bencana dan penanggulangan bencana inklusif, serta aspek inklusi dalam bidang-bidang kerja pelayanan penanggulangan bencana. Dalam diskusi tersebut peserta pelatihan diberikan pemahaman bahwa di Indonesia telah memiliki kebijakan yang mengatur pelaksanaan dan pemenuhan hak-hak disabilitas, yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2020 tentang aksesibilitas terhadap permukiman, pelayanan publik, dan perlindungan dari bencana bagi penyandang disabilitas, serta Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Nomor 14 Tahun 2014 mengatur tentang penanganan, perlindungan, dan partisipasi penyandang disabilitas dalam penanggulangan bencana.
Salah satu isu krusial yang muncul dalam diskusi ini adalah kebijakan-kebijakan tersebut belum sepenuhnya diimplementasikan dengan maksimal akibat kesalahan dalam langkah-langkah aksesibilitas serta keterbatasan pemahaman masyarakat mengenai konsep disabilitas, termasuk disabilitas itu sendiri. Dalam sesi ini juga memberikan kesempatan bagi peserta untuk dapat menyampaikan peran potensial yang dapat dilakukan oleh penyandang disabilitas dalam respons bencana. Berdasarkan diskusi ini, disimpulkan bahwa untuk memastikan keterlibatan aktif penyandang disabilitas dalam manajemen bencana, perlu adanya akses, peluang dan penguatan kapasitas.
Gambar 2. Diskusi terkait pendataan kelompok berisiko
Pada hari kedua, sebelum sesi utama dimulai, peserta pelatihan mengikuti simulasi evakuasi mandiri bagi penyandang disabilitas saat terjadi gempa bumi. Setelah itu, dilanjutkan dengan diskusi kelompok mengenai pengumpulan data kelompok berisiko, aksesibilitas dan standar panduan inklusi disabilitas dalam respons bencana. Dalam sesi ini, peserta lebih banyak terlibat latihan praktis, seperti bermain peran dalam pengumpulan data dan penilaian aksesibilitas fisik dan nonfisik di sebuah bangunan hotel. Penilaian ini bertujuan untuk mengidentifikasi praktik baik memetakan kebutuhan aksesibilitas di ruang publik dan bangunan yang sering diakses, yang nantinya dapat diterapkan dalam upaya respons bencana.
--------------------------
Penulis: Nila Pratiwi - Staf Informasi dan Komunikasi
Media Sosial
@yakkumemergency
yakkumemergency
@YEUjogja