
Perempuan, Perubahan Iklim, dan Bagaimana Mereka Bisa Bertindak Sebelum Bencana Terjadi
Dampak perubahan iklim kian dirasakan oleh masyarakat. Kekeringan dan curah hujan yang semakin ekstrem menyebabkan bencana terkait cuaca dan iklim semakin sering dan parah. Hal ini tentu mempengaruhi berbagai aspek sosial mulai dari ekonomi, kesehatan, sumber daya alam dan manusia khususnya pada kelompok berisiko.
Pada tahun 2024, jumlah penduduk Indonesia mencapai 280,73 juta jiwa, terdiri dari 49,53% perempuan, 11,1% berusia di atas 60 tahun, dan 31,6% anak-anak. Kelompok ini merupakan kelompok yang paling berisiko terhadap dampak perubahan iklim karena terbatasnya akses terhadap informasi dan sumber daya, terutama di daerah pedesaan dan rawan bencana. Sayangnya, meskipun frekuensi bencana terkait perubahan iklim terus meningkat, banyak dari peristiwa ini sebenarnya dapat diantisipasi melalui sistem peringatan dini. Di Indonesia, badan pemerintah seperti BMKG dan BNPB telah mengeluarkan sistem peringatan dini, tetapi kelompok berisiko masih kesulitan mengakses informasi ini.
Guna meningkatkan kapasitas dan kemampuan masyarakat untuk mengurangi dampak dari perubahan iklim maka digalakkan tindakan antisipasi sebelum terjadinya bencana. Inisiatif ini dikenal sebagai aksi antisipasi atau dalam peraturan perundangan di Indonesia disebut sebagai Aksi Merespon Peringatan Dini (AMPD). Perempuan sebagai salah satu kelompok yang paling terdampak, memiliki peran penting untuk ikut terlibat memantau peringatan dini berbasis masyarakat dan menentukan upaya untuk mengurangi risiko dan dampak bencana.
YAKKUM Emergency Unit bekerja sama dengan mitranya menyelenggarakan pelatihan selama 5 hari mengenai aksi antisipasi dan aksi iklim di Ambon dan Sikka bertajuk “Aksi Antisipasi dan Aksi Iklim untuk Membangun Ketangguhan yang Dipimpin oleh Perempuan”. Pelatihan ini dilaksanakan di dua lokasi, yaitu Negeri Hative Kecil, Kota Ambon, Provinsi Maluku dan Desa Hoder, Kabupaten Sikka, Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Tujuan dari pelatihan ini adalah untuk memperkuat kapasitas dari masyarakat lokal khususnya perempuan di desa dengan cara meningkatkan pemahaman bersama mengenai tindakan antisipatif, berbagi pengetahuan dan memetakan aktor yang terlibat dalam implementasi aksi-aksi tersebut, dan menyusun rencana aksi antisipasi berdasarkan perspektif dan pengalaman perempuan. Selain pelatihan, kegiatan ini juga mencakup penilaian kerentanan dan kapasitas yang dilakukan oleh masyarakat.
Pelatihan di Ambon
Gambar 1. Direktur Yayasan Walang Perempuan, Daniella Loupatty (Ella) menyampaikan sesi "Transformasi Gender dalam Aksi Iklim
Pelatihan di Ambon diselenggarakan oleh Yayasan Walang Perempuan (YWP), lembaga lokal di Maluku yang berfokus pada isu-isu pemberdayaan dan perlindungan pada perempuan. Kegiatan ini berlangsung pada tanggal 3-7 Desember 2024 dengan melibatkan berbagai elemen masyarakat dari Negeri Hative Kecil, Kota Ambon dengan fokus utama pelatihan pada ancaman banjir. Peserta yang hadir terdiri dari perwakilan Pemerintah Negeri (sebutan untuk desa adat di Maluku), kelompok masyarakat siaga bencana, pemuda negeri dan pemuda gereja, serta tokoh tetua. Kegiatan ini dibuka oleh Fahmi Sallatalohy, Kepala Pelaksana BPBD Kota Ambon, yang memaparkan profil risiko bencana di Kota Ambon, terutama di kawasan pesisir Teluk Ambon yang sangat rentan terhadap banjir. Pada hari ketiga, Merson Panggua, Prakirawan Cuaca dari BMKG Maluku, memberikan pemahaman mendalam mengenai kondisi iklim dan cuaca di Maluku dan pentingnya memahami peringatan dini dari BMKG. Selain itu, YWP juga memfasilitasi kelompok perempuan mengenai isu transformasi gender dan sistem peringatan dini berbasis masyarakat.
Pelatihan di Sikka
Gambar 2. Diskusi protokol aksi dini oleh peserta di Desa Hoder, Kabupaten Sikka
Setelah melaksanakan pelatihan di Ambon, mitra lokal YEU di Sikka, Yayasan Flores Children Development (FREN) mengadakan pelatihan serupa untuk kelompok perempuan penenun dan petani di Desa Hoder, Kecamatan Waigete, Kabupaten Sikka, NTT. Pelatihan yang berlangsung selama 5 hari ini, diselenggarakan pada 10-14 Desember 2024. Selain kelompok penenun dan petani, pelatihan di Sikka juga dihadiri oleh Forum Pengurangan Risiko Bencana (FPRB) Sikka, Pendamping Lapang Pertanian Kecamatan Waigete, Pendamping Kecamatan Waigete, perwakilan pemerintah Desa Hoder, dan BMKG Sikka sebagai observer. Pelatihan ini dibuka secara resmi oleh Plt. Kepala BPBD Kabupaten Sikka, Johanes BC Putu Botha yang juga mempresentasikan strategi mitigasi risiko kekeringan di Kabupaten Sikka. Selain itu, Kepala BMKG Kabupaten Sikka, Ota Welly Jenni Thalo, menjadi narasumber untuk memperkuat pemahaman peserta tentang peringatan dini.
Sebuah Awal Untuk Mewujudkan Kepemimpinan Perempuan
Dalam pelatihan ini, perempuan desa diperkenalkan pada tiga pilar utama dalam aksi antisipasi yaitu: 1) Memahami risiko dan peringatan dini, 2) aksi dini, dan 3) pendanaan terencana. Metode pelatihan dirancang interaktif melalui diskusi kelompok dan berbagi pengalaman perempuan dalam menghadapi ancaman. Pelatihan ini tidak hanya membekali perempuan dengan keterampilan baru, tetapi juga memperkuat peran mereka sebagai penggerak ketangguhan masyarakat dalam menghadapi ancaman bencana.
Perspektif maupun suara perempuan dalam ruang publik, terutama dalam isu kebencanaan memang masih jauh dari kata ideal. Namun, dengan dukungan semua pihak, kini perempuan mulai dilibatkan dalam diskusi masyarakat, termasuk dalam upaya pengurangan risiko bencana, sehingga membawa harapan baru. Kemajuan ini berkontribusi pada terciptanya masyarakat tangguh bencana yang bermartabat dan inklusi.
-------------
Penulis: Sita Pratitha - Staf Informasi dan Komunikasi
Media Sosial
@yakkumemergency
yakkumemergency
@YEUjogja