Survey Kerentanan Program Kemitraan Untuk Aksi Ketangguhan : Mendefinisikan Ulang Arti Kerentanan di Mata Perempuan Gunungkidul

YAKKUM Emergency Unit Melalui Program Kemitraan Untuk Aksi Ketangguhan (CRPP) telah melaksanakan survey kerentanan di 2 Kalurahan dampingan di Gunungkidul. Program Kemitraan untuk Aksi Ketangguhan bertujuan untuk menguatkan ketangguhan di masyarakat yang menyasar kepada kelompok-kelompok perempuan khususnya dalam menghadapi dampak perubahan iklim.

Survey tersebut bertujuan untuk menggali dan mengidentifikasi kerentanan terhadap bencana dan hambatannya dalam berbagai tingkatan. Selain itu survei ini juga bertujuan untuk mendokumentasikan pemahaman kelompok perempuan tentang kerentanan yang ada di komunitasnya, serta Mengidentifikasi akses kelompok rentan terhadap program pemerintah untuk mengatasi kerentanan.

Survei ini dilakukan di dua kalurahan dampingan YEU untuk proyek CRPP, antara lain Mertelu dan Girimulyo. Pemilihan dua desa tersebut dilatarbelakangi oleh dua kondisi topografis Gunungkidul Utara dan Selatan, yang mana Gunungkidul Utara merupakan perbukitan dan Gunungkidul Selatan merupakan perbukitan kars dan dekat dengan Pantai Selatan.  Kalurahan Mertelu berada di wilayah Gunungkidul bagian utara, sedangkan Girimulyo terdapat di Selatan.

 

Menilik Ulang Definisi Kerentanan Melalui Sudut Pandang Perempuan Gunungkidul

Gambar 1. Proses FGD di Desa Girimulyo, Panggang, Gunungkidul

 

Berangkat dari  asumsi yang muncul dari hasil kajian risiko bencana berbasis komunitas, kelompok perempuan berpikir bahwa masyarakat yang termasuk kelompok rentan sangat mungkin mengalami  kerentanan ganda akibat kondisi kekeringan yang terjadi di Gunungkidul. Berdasarkan hasil kajian tersebut, petani bisa jadi termasuk kelompok rentan, karena mereka menggantungkan penghasilan dari bercocok tanam. Kondisi geografis Gunungkidul yang merupakan tanah kapur dengan intensitas curah hujan yang minim, sangat memungkinkan bahwa daerah ini rawan kekeringan. Hampir setiap tahunnya daerah ini mengalami kekeringan saat terjadi kemarau Panjang. Masyarakat setempat pada umumnya memanfaatkan tampung air hujan untuk memenuhi kebutuhan air harian mereka. 

Pertanian di Gunungkidul juga mengandalkan air hujan untuk irigasi lahan pertanian mereka. Akibatnya ketika memasuki musim kemarau, sungai-sungai mengering, termasuk sawah-sawah mereka. Hal tersebut berakibat pada gagal panen, yang hampir setiap tahunnya dialami oleh banyak petani di Gunungkidul. 

Pada umumnya petani di Gunungkidul merupakan lansia, bahkan tak jarang diantaranya merupakan lansia mandiri. Lansia mandiri merupakan salah satu kelompok masyarakat yang mengalami kerentanan ganda, karena mereka rentan menjadi disabilitas yang disebabkan oleh faktor usia. Seringkali mereka tinggal sendiri karena keluarga mereka sudah lama pindah untuk merantau atau sudah memiliki keluarga sendiri, sehingga ia dirawat oleh tetangga ataupun kerabat yang masih tinggal di dalam satu desa.  

 

Kekeringan dan Gagal Panen Sebagai Pintu Masuk Bank Keliling

Image 2. Proses FGD Desa Mertelu, Gedangsari, Gunungkidul

 

Bank keliling atau masyarakat setempat menyebutnya dengan bank plecit, merupakan lembaga keuangan yang tidak memiliki badan hukum yang sah. Seringkali mereka mengatasnamakan diri mereka sebagai koperasi kredit masyarakat. Biasanya mereka akan membuka pinjaman secara berkelompok, seperti melalui arisan dasawisma, perkumpulan kelompok RT, dan sebagainya. Dalam hal ini kelompok Perempuan sangat rentan terjebak  bank plecit. 

Perempuan di Gunungkidul, khususnya ibu rumah tangga, biasanya bertanggung jawab untuk mengelola keuangan rumah tangga. Seberapa pun besarnya pendapatan yang diterima dari suami, harus bisa cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga seperti makan, listrik, air, kebutuhan sekolah anak, transportasi, dan sebagainya. Namun ketika kekeringan maka terdapat pengeluaran tambahan untuk membeli air. 1 tangki air berkapasitas 500 liter rata-rata dihargai sebesar Rp 150,000. 1 tangki air biasanya cukup untuk 2-3 minggu tergantung kebutuhan rumah tangga dan jumlah orang dalam satu rumah. Kebutuhan tambahan tersebut salah satunya juga untuk membeli pakan ternak. Ketika memasuki masa kekeringan, peternak kesulitan mencari pakan di sekitar Gunungkidul. Jika beruntung mereka bisa mencari pakan rumput di luar Gunungkidul. Namun bagi yang tidak, mereka biasanya membeli dari penjual pakan. 1 ikat pakan atau sak bongkok (sebutan masyarakat untuk hitungan pakan ternak) dihargai sebesar Rp 10,000,-. Padahal jika ternak yang dimiliki lebih dari satu, bisa membutuhkan biaya lebih dari itu. Belum lagi 1 ikat pakan tersebut hanya cukup untuk 1 kali makan hewan ternak, dan setiap harinya ternak makan sebanyak 3 kali. 

Ketika himpitan ekonomi muncul, para ibu terpaksa meminjam uang dari bank plecit untuk dapat memenuhi kebutuhan mereka. Sistem pengajuan pinjaman yang mudah dan tidak memerlukan banyak persyaratan membuat opsi yang menarik bagi para ibu rumah tangga. 

Astuti, salah satu enumerator sekaligus peserta diskusi hasil survey menyebutkan bahwa, ada salah satu warga di kelurahannya yang terjerat pinjaman bank plecit. Hal itu dikarenakan sebagai seorang ibu ia merasa bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, meskipun penghasilan yang diberikan suami nya tidak cukup. Akhirnya warga tersebut meminjam uang dari bank plecit meskipun bunga yang diberikan tinggi. Untuk menutupi hutang dari bank plecit ia melakukan hutang ke bank plecit lainnya, sehingga terjadi gali lubang – tutup lubang untuk mengatasi permasalahan tersebut. Sampai akhirnya ia terlilit banyak hutang, warga tersebut memilih untuk melakukan bunuh diri. 

 

----------------------

 

Penulis:

Devina Prima Kesumaningtyas - Staf Informasi dan Komunikasi
Brigitas Ra Sekar Laras - Manajer Proyek