Selama hampir dua dekade, Justince Parasi, wanita berusia 66 tahun yang akrab disapa Ince, telah menjadi tulang punggung keluarganya di Desa Barangka-Pehe, Tagulandang. Di tengah keterbatasan kesempatan, ia mengabdikan diri pada pekerjaan berat sebagai buruh perkebunan, sering kali bekerja keras di bawah terik matahari untuk menafkahi anak-anaknya. Setiap tetes keringatnya menjadi bukti tekadnya yang kuat untuk mengukir kehidupan yang lebih baik bagi mereka.
Namun, jalan yang ditempuhnya penuh dengan tantangan. Sebagai seorang ibu tunggal, Ince telah menghadapi beban stigma sosial dan kenyataan pahit ketidakstabilan keuangan, seringkali mendapati dirinya hidup pas-pasan. Meskipun mengalami kesulitan ini, ia tetap menjadi sumber kekuatan bagi anak-anaknya, menanamkan nilai-nilai ketekunan dan kerja keras, serta mengajari mereka untuk bangkit dari keadaan yang mereka alami sejak lahir.
Letusan: Malam Penuh Keputusasaan
Pada malam 17 April 2024, bumi bergetar di bawah kakinya saat Gunung Ruang meletus, melemparkan abu dan puing-puing ke langit. Ini bukan pertama kalinya gunung itu melepaskan amukannya, tetapi ancaman yang ditimbulkan kali ini begitu cepat dan mengerikan. Kepanikan melanda desa, Ince mendapati dirinya diliputi rasa takut dan ketidakpastian, jantungnya berdebar kencang karena takut akan keselamatan cucu-cucunya.
Di tengah kekacauan, para tetangga berkumpul untuk membantu, membimbing dia dan cucu-cucunya ke tempat perlindungan di pegunungan, jauh dari bahaya yang mengancam. Saat mereka melarikan diri, air mata mengalir di wajahnya—campuran yang memilukan antara ketakutan dan keputusasaan akan masa depan keluarganya. Pikiran tentang kehilangan semua yang telah ia perjuangkan dengan susah payah terasa tak tertahankan dan beban kekhawatiran menekan hatinya.
"Kita berlindung di sini dulu, Mama. Kalau keadaan makin buruk, kita pindah ke Mohonsawang," usul anaknya yang sudah mengungsi ke kebun. Ince setuju dan mereka berlindung di sana, meski hanya sementara. Saat cuaca mulai stabil, Ince, anaknya dan cucunya kembali ke rumah untuk mempersiapkan kebutuhan mereka. Namun, gunung itu menunjukkan tanda-tanda akan meletus lagi, disertai gempa bumi dan langit yang mulai gelap. Alih-alih mengungsi ke Mohonsawang, keluarga itu memilih mengungsi ke Mulengen untuk mencari tempat berlindung yang lebih aman.
Di Mulengen, pemerintah menyarankan mereka untuk mencari tempat tinggal yang lebih aman. Pemerintah mengarahkan Ince dan keluarganya untuk berlindung di bawah atap Gereja GMIST di Barangka-Pehe, bersama tetangga lainnya yang turut mengungsi.
Pelarian yang Putus Asa
Pada malam 29 April 2024, Gunung Ruang kembali menunjukkan aktivitas ekstrem, ditandai dengan gempa bumi yang semakin kuat. Akhirnya, Ince, anak bungsunya, dan cucu-cucunya kembali ke tempat yang aman, tujuan mereka Mohonsawang. Pada dini hari 30 April, letusan lebih besar mengguncang pulau. Pemerintah setempat memberikan arahan untuk evakuasi yang lebih aman dengan menawarkan dua lokasi, Pulau Siau dan Kota Manado. Ince memilih untuk mengungsi ke Siau bersama kedua cucunya, berbekal pakaian yang dikenakan dan sepuluh ribu rupiah di dompet mereka.
Selama perjalanan dari Tagulandang ke Siau, cucu-cucu Ince menangis minta permen dan makanan ringan. Namun, dengan berat hati, Ince hanya bisa meminta mereka untuk bersabar, fokus memastikan keselamatan mereka di tengah kerumunan yang ramai di kapal penyelamat.
Setibanya di Siau, pemerintah BPBD Sitaro menawarkan bantuan tempat tinggal dan makanan kepada Ince dan pengungsi lainnya. Namun, Ince menolak bantuan tersebut dan meminta untuk diantar ke rumah anaknya di Siau. Selama sebulan, mereka tinggal bersama, melewati masa-masa setelah letusan. Setiap hari menjadi bukti ketangguhan mereka, namun kecemasan tetap menyelimuti. Pikiran Ince sering melayang pada kondisi rumahnya, yang kini jauh dan tidak menentu, berada di pulau lain yang jauh dari tempat pengungsian mereka.
Kembali ke Reruntuhan
Ketika tiba waktunya untuk kembali ke Tagulandang, Ince berpegang pada secercah harapan bahwa rumahnya masih bisa berdiri. Namun, setibanya di sana, ia disambut dengan pemandangan yang menyayat hati: rumahnya, yang dulunya merupakan surga cinta, telah menjadi bangunan berdebu dan tidak layak huni. Letusan gunung berapi telah membuat batu-batu menabrak atap rumah, meninggalkan lubang-lubang menganga dan tembok yang hancur.
Berdiri di antara puing-puing, Ince merasakan kesedihan yang mendalam menyelimutinya. Dinding yang dulunya bergema dengan tawa kini bergema dengan keheningan, dan mimpi yang ia pelihara terasa hancur. Namun, bahkan di saat-saat putus asa ini, Ince memahami bahwa meskipun struktur fisik rumahnya telah rusak, namun cinta dan ikatan yang ia miliki dengan keluarganya tetap tidak terputus.
"Saat saya kembali ke rumah, air mata saya mengalir deras saat saya melihat kehancuran di hadapan saya," kenang Ince Parasi, suaranya bergetar karena emosi. "Dinding rumah saya yang dulunya cerah kini diselimuti lapisan abu vulkanik yang tebal dan atap berlubang-lubang dengan area dapur di ambang keruntuhan akibat serangan batu yang tak henti-hentinya." Ince bergulat dengan kenyataan pahit situasinya. "Saya menangis, mengingat keterbatasan finansial yang sangat membebani pundak saya. Bagaimana mungkin saya bisa memulihkan rumah saya?" keluhnya, hatinya sakit karena putus asa.
Namun, di saat-saat rentan itu, putranya melangkah maju, menawarkan secercah harapan. "Tidak apa-apa, Mama," katanya meyakinkannya dengan lembut. "Tentu, kita akan menerima bantuan dari orang-orang baik." Kata-katanya, meskipun sederhana, mengandung harapan, cinta, dan dukungan - mengingatkan Ince bahwa di saat-saat tergelap sekalipun, dia tidak sendirian.
Ince tidak hanya harus menerima kondisi rumahnya, tetapi ia juga bergulat dengan kesedihan karena kehilangan mata pencahariannya. Saat ia berjalan melalui lingkungan yang sudah dikenalnya, setiap langkah berubah menjadi doa dalam hati, berharap-harap cemas bahwa karya hidupnya masih ada. Pohon cengkeh dan pala yang dulu menjadi kebanggaan dan kegembiraannya, telah hangus dan patah, menjadi korban keganasan gunung. Api telah membakar habis hasil jerih payahnya, meninggalkan pohon-pohon kering yang terbakar dan tanah tandus - pengingat yang menghantui tentang apa yang mungkin terjadi.
Sinar Harapan: Percaya pada Rencana Tuhan
Saat Ince mengamati kerusakan di sekelilingnya, ia diliputi oleh luapan emosi. Kesedihan karena kehilangan segala sesuatu yang telah ia usahakan dengan susah payah sangat membebani hatinya, dan ia mempertanyakan bagaimana ia bisa pulih kembali. Namun, bahkan dalam menghadapi kesulitan seperti itu, iman Ince kepada Tuhan tetap teguh. Dia berpaling kepada doa, mencari penghiburan dalam pelukan imannya. Keyakinan Ince yang tak tergoyahkan memungkinkannya untuk melihat melampaui pergumulannya, menarik kekuatan dari Alkitab yang mengingatkannya akan janji-janji Tuhan.
"Ada beberapa upaya yang dilakukan keluarga kami, dan semuanya tampak kembali normal," Ince merenung, suaranya merupakan perpaduan antara rasa syukur dan emosi. "Tiba-tiba, perwakilan dari Pemerintah Desa tiba di rumah kami, memberitahu kami bahwa bantuan akan disalurkan kepada kami." Berita ini membasahi Ince dan keluarganya seperti hujan yang lembut setelah kemarau panjang, memenuhi hati mereka dengan rasa syukur yang luar biasa.
"Bantuannya mungkin kecil," lanjutnya, "tetapi itu lebih dari cukup bagi kami. Biasanya, saat kami tidur di malam hari, tetesan air hujan merembes masuk melalui lubang-lubang di atap, yang telah kami tutupi dengan terpal. Terkadang, saat angin bertiup dari selatan, terpal kami terangkat, sehingga debu dan pasir dapat masuk ke tempat kami." Kata-kata Ince menggambarkan perjuangan mereka dengan jelas sebagai bukti ketangguhan sebuah keluarga yang menghadapi badai bersama-sama.
Namun, di tengah tantangan tersebut, secercah harapan muncul. Para pejabat desa membawa berita gembira, jika YAKKUM Emergency Unit (YEU) akan mendistribusikan bantuan dukungan untuk hunian, shelter kit, yang dikemas dengan hati-hati dalam karung yang berisi tali, terpal, selimut dan tikar. Ince mengenang momen itu dengan rasa takjub, menjelaskan bagaimana ia memanfaatkan barang-barang dari shelter kit dengan sangat hati-hati.
"Terpal dan tali telah digunakan untuk menutupi area tertentu di atap, terutama dapur, yang terhubung ke kamar tidur," ungkapnya. "Sekarang, saat saya tidur, saya tidak lagi khawatir tetesan air hujan mengenai saya." Tikar juga menjadi simbol kenyamanan; menggantikan kasurnya yang rusak karena beratnya abu dan kerikil akibat letusan. Rasa terima kasih Ince tidak hanya sebatas bantuan nyata yang diterimanya. "Bantuan ini bukan sekadar hasil dari kekuatan dan keperkasaan manusia," renungnya, matanya berkaca-kaca. "Semua itu adalah perwujudan campur tangan Tuhan dalam hidup kami." Kata-kata ini bergema dalam hatinya, memperkuat keyakinannya bahwa Tuhan bekerja untuk kebaikannya, bahkan di tengah penderitaan.
Membangun Kembali dengan Ketangguhan
Setiap hari, Ince mengumpulkan kekuatannya, bertekad untuk bangkit mengatasi tantangan yang ada di hadapannya. Penyembuhan akan membutuhkan waktu, tetapi semangatnya tidak pernah padam. Dipandu oleh imannya, ia mengambil langkah demi langkah, menghadapi ketidakpastian masa depan dengan ketangguhan yang baru. Dengan Tuhan Yang Maha Kuasa di sisinya, bersama dengan masyarakat dan pemerintah, Ince berhasil melewati badai, menjadi lebih kuat dan tangguh dari sebelumnya.
Kisahnya bukan hanya tentang kehilangan, ini adalah bukti kekuatan jiwa manusia dalam menghadapi kesulitan. Saat ia memulai tugas berat untuk membangun kembali kehidupannya, ia memanfaatkan ketangguhan yang telah mendefinisikan perjalanannya sebagai ibu tunggal dan penyintas. Pengalaman Ince menyoroti perjuangan yang dihadapi oleh para lansia dan ibu tunggal di mana pun, yang sering kali memikul beban keluarga di pundak mereka.
Melalui perjalanannya, Ince mengajarkan kita tentang kekuatan kepercayaan terhadap rencana Tuhan, ketangguhan, cinta, dan keinginan yang tak tergoyahkan untuk menciptakan masa depan yang lebih baik. Di dalam hatinya, dia tahu bahwa meskipun jalan di depan penuh dengan tantangan, tapi ikatan keluarga dan semangat ketekunan akan menuntunnya melewati masa-masa tergelap. Perjalanan Ince adalah pengingat yang pedih bahwa bahkan di tengah-tengah abu keputusasaan, harapan dapat bersemi kembali, dan cinta dapat menerangi jalan ke depan.
Author: Tarisa Putri Adang - Information and Communication Staff in Tagulandang.
Media Sosial
@yakkumemergency
yakkumemergency
@YEUjogja