
Pertukaran pembelajaran adalah bagian penting dari Program IDEAKSI YAKKUM Emergency Unit.1 Dalam pendekatannya terhadap solusi yang berbasis kepemimpinan masyarakat, IDEAKSI membangun jejaring inovator dari masyarakat sebagai pendorong kolaborasi dan untuk saling berbagi di antara komunitas lokal.
Dalam ekosistem inovasi yang lebih luas di IDEAKSI Kedua,2 pertukaran pembelajaran diperkaya dengan beragam perspektif dari 23 inovator lokal. Pengalaman mereka dalam konteks lokal di Yogyakarta, Timor Barat, Jakarta, dan Sulawesi Tengah membuka peluang baru untuk memahami proses inovasi mereka saat ini, mengatasi tantangan potensial, dan memperkuat praktik-praktik baik.
Pertemuan reflektif pada bulan Desember 2023 memungkinkan mereka berbagi pembelajaran. Untuk pertama kalinya, para inovator asal Sulawesi Tengah dan Timor Barat datang ke Yogyakarta untuk mengetahui lebih jauh inovasi yang sedang digarap oleh kelompok lain. Mereka juga bertemu untuk pelatihan jurnalisme masyarakat dan menyiapkan mekanisme umpan balik.
Peserta pertemuan reflektif berkeliling untuk mencari tahu tentang inovasi-inovasi IDEAKSI di Yogyakarta.
Berbagi pengalaman berinovasi
Pertukaran pembelajaran ini terbukti bermanfaat tidak hanya bagi para inovator baru dari Timor Barat dan Sulawesi Tengah, namun para inovator di Yogyakarta juga belajar dari pengalaman mereka. Timbal balik terlihat jelas selama kunjungan lapangan.
Karena sebagian besar inovatornya adalah peternak, mereka memiliki banyak kesamaan, misalnya pengalaman beternak kambing. Nikson Tenistuan, yang menjalankan bisnis produk pangan berbasis kelor Glaomori Meto di Kupang, menyarankan agar petani Ngudi Makmur mencoba memberi makan kambing dalam proyek IDEAKSI mereka dengan daun kelor (moringa). Ia melihat reproduksi kambingnya meningkat, begitu pula kualitas dagingnya.
“Saya di [Kupang] uji coba dua ekor, satu diberi makan lamtoro, satu makan kelor. Itu hasilnya beda. Warna dagingnya beda, warnanya lebih segar, dan rasanya beda. Kalau [daging] ditaruh kulkas, yang lebih awet [kambing] yang makan kelor. Dan mungkin urin dengan kotorannya bisa dibuat pembanding, untuk menjadi pupuk [organik] yang lebih berkualitas.”
Para petani sangat terbuka menerima saran tersebut. Pohon kelor banyak ditemukan di Gunungkidul.
Broto, pendamping masyarakat dari YEU untuk IDEAKSI di Yogyakarta, juga membenarkan kelayakan uji coba ini. Selama pengalamannya tinggal di Nusa Tenggara Timur, ia mengamati bahwa karakteristik tanahnya mirip dengan kampung halamannya di Gunungkidul, dimana ia tinggal tidak jauh dari Kalurahan Girikarto tempat Ngudi Makmur berada. Kelor tumbuh subur di kedua wilayah tersebut.
Ketua Ngudi Makmur menjawab pertanyaan inovator dari Timor Barat sembari mengamati saluran penampung kotoran kambing.
Sebaliknya, para inovator dari Timor Barat dan Sulawesi Tengah belajar metode undian untuk mendistribusikan anak kambing secara adil di masa depan kepada anggota Ngudi Makmur yang berjumlah sekitar 20 orang. Mereka juga menyimak cara kelompok membagi tugas dan membangun rasa tanggung jawab dengan menjadwalkan giliran pemeliharaan kandang.
Oleh Dwijo Utomo, Ketua Kelompok Tani Ngudi Makmur, para rekan inovator yang berasal dari tempat jauh ini juga diperlihatkan manfaat penggunaan pupuk organik penuh pada produksi padi di lahan kecil dan kering miliknya. “Setelah tidak menggunakan pupuk kimia, hasilnya meningkat, dan menggemburkan tanah. Kalau yang kebanyakan pupuk kimia, tanah itu mengeras, mudah kering.”
Hal penting lainnya yang dapat dipelajari adalah kesadaran bahwa inovasi dapat berfungsi sebagai alat yang efektif untuk inklusi sosial dan keberlanjutan, bahkan ketika ide-ide inovasinya tidak benar-benar baru. Inovasi kandang kambing Ngudi Makmur, misalnya, menunjukkan bahwa praktik yang ada dapat diubah untuk menciptakan solusi yang inklusif dan berkelanjutan, terutama ketika praktik tersebut memberdayakan anggota masyarakat yang terpinggirkan.
Manfaat lain dari inovasi ini adalah terciptanya kebutuhan untuk berkolaborasi. Tindakan kolektif diperlukan dalam proses inovasi ketika ada aspek kepemimpinan masyarakat di dalamnya, seperti mengumpulkan umpan balik dari masyarakat dan bekerja dengan berbagai aktor di tingkat desa seperti pemerintah, warga sekitar, dan organisasi perempuan. Hal ini membangun kohesi sosial.
Sajian tradisional disediakan oleh inovator yang menjadi tuan dan nyonya rumah.
Kearifan lokal lintas pulau
Para inovator dalam kunjungan-kunjungan ini mendapat tambahan wawasan tentang kearifan lokal sembari menikmati kudapan tradisional yang disajikan. Karang Taruna Prima Gadung dari Nganjir, Gunungkidul, memanfaatkan akar wangi dan berbagai tanaman lokal sebagai contoh solusi yang berbasis lokal.
Mitra Prima Gadung dari Sedulur Nandur Banyu (artinya teman menanam air) menekankan pertanyaan penting yang melandasi upaya konservasi mereka: “Mau tinggalkan apa untuk anak cucu? Tanah, air, dan sumber daya alam lain?”
Karena sangat prihatin dengan kelangkaan air yang telah berlangsung selama puluhan tahun di Gunungkidul, mereka percaya bahwa mereka harus bekerja sama untuk melestarikan air dan menanam tanaman untuk mengikat tanah, yang pada akhirnya melindungi lingkungan untuk generasi mendatang.
Imanuel Nuban, yang biasa dipanggil Ima, merasakan kedekatannya dengan inovasi yang dikerjakan Prima Gadung. Bahkan ada filosofi serupa yang menyerukan agar masyarakat menangkap dan menyimpan air dalam bahasa daerahnya di Timor Tengah Selatan, tempat ia memimpin organisasi penyandang disabilitas setempat.
Ima berjalan mendaki bukit di Nganjir sementara banyak orang mengikutinya di belakang dengan susah payah.
Di perbukitan Nganjir yang ekstrem, dukungan diberikan sepenuhnya oleh padukuhan dan masyarakat, termasuk para lansia. Para generasi muda jugalah yang mencetuskan inisiatif-inisiatif tersebut. Hal ini memukau para tamu inovator dari Sulawesi Tengah dan Timor Barat. Mereka bertanya, “Kenapa pemuda dan warga yang tua pun bersemangat?”
Peristiwa tanah longsor besar yang terjadi sebelumnya telah membuka mata mereka. Saat itu, beberapa keluarga diwajibkan pindah, jauh dari sumber penghidupan utama mereka. Penduduk dusun tidak ingin direlokasi lagi, sehingga mereka bersemangat untuk menanam, merawat alam.
“50, 70 tahun ke depan yang akan menempati Nganjir adalah saya dan teman-teman. Jika semua ini dibiarkan, di mana kami mau tinggal?”
Kepala Desa Bolapapu di Sigi (Sulawesi Tengah), Yunarto Ferys, merasakan pengalaman luar biasa yang ia juga berharap dapat dimulai di daerahnya sendiri. Sultan, inovator IDEAKSI lainnya dari PPDI, sebuah kelompok penyandang disabilitas di Sulawesi Tengah, juga mempunyai kesan yang sangat positif terhadap pertukaran pembelajaran tersebut.
“[Saya] belajar banyak dari inovator-inovator dengan inovasi mereka yang sangat kreatif sesuai dengan daerah mereka,” demikian ia sampaikan.
Foto bersama dengan Lurah Suryatmajan yang menghadiri kunjungan di Gempita.
Kesan mendalam
Mirsa Hidayani, yang telah bergabung dengan Bank Sampah Gempita sejak didirikan pada tahun 2020, mengatakan para inovator Gempita dan masyarakat yang dilayaninya senang menerima kunjungan tersebut. “Biasanya sok [suka ada yang] bertanya: ada apa kok buat minum? Oh, baru mau ada tamu, dari YEU, dari luar. [Mereka bertanya balik,] “Oh, kaya kemarin ditinjau lagi?” Pada senang [mereka].”
Rangkaian kunjungan ini juga merupakan kesempatan pertama bagi Manajer Program CLIP di Elrha, Rob Whitelaw, untuk mengamati inovasi langsung di lokasi dan berbincang dengan masyarakatnya. Kunjungannya selama lima hari disambut dengan penuh antusias.
Bagi Rob, poin penting dari kunjungan ini adalah memahami keragaman inovator. Ia mengamati bahwa meskipun mereka semua berfokus pada bidang tertentu dalam penanggulangan bencana, cara mereka melakukan hal tersebut dan apa yang mereka lakukan bisa sangat berbeda.
“Pesan pribadi untuk saya bawa saat kembali ke Elrha adalah jangan melupakan krisis yang “tidak besar” – bahwa sebagian besar krisis kemanusiaan nyatanya berskala lebih kecil/sedang, sehingga tidak mendapat tanggapan/pendanaan internasional.”
Rob mengambil foto sembari berjalan di gang sempit bantaran sungai di mana Gempita beroperasi.
Penulis: Lorenzo Fellycyano; Penyunting: Nanda Husni
1 IDEAKSI adalah akronim dari Ide, Inovasi, Aksi, dan Inklusi, suatu inisiatif dalam Kemitraan untuk Inovasi yang Berbasis Kepemimpinan Masyarakat (Community-Led Innovation Partnership). Kemitraan ini didukung oleh Elrha, Start Network, dan the Asia Disaster Reduction and Response Network (ADRRN) Tokyo Innovation Hub, serta didanai oleh Kantor Luar Negeri, Persemakmuran, dan Pembangunan Inggris (UK Foreign, Commonwealth, and Development Office—FCDO).
CLIP mendukung kemunculan dan pengembangan solusi berbasis lokal untuk masalah kemanusiaan di Guatemala, Filipina, Indonesia, dan Sudan Selatan. YAKKUM Emergency Unit (YEU) menjalankan Program IDEAKSI sebagai proyek CLIP di Indonesia. Sebagai bagian dari kemitraan CLIP, IDEAKSI mencari ide inovasi-inovasi yang inklusif dalam penanggulangan bencana untuk kelompok paling berisiko, termasuk difabel dan lansia.
2 IDEAKSI Pertama (1.0) telah memberikan dukungan pada 9 inovator lokal di Daerah Istimewa Yogyakarta, sementara IDEAKSI 2.0 saat ini mendukung 23 inovator lokal di 3 hub inovasi. Sebanyak 15 inovator IDEAKSI 2.0 di Hub Yogyakarta didukung oleh YEU. 5 inovator di Timor Barat, Nusa Tenggara Timur, dan 1 inovator di Jakarta didukung bersama Church World Service (CWS) Indonesia di Hub Inovasi CWS Indonesia. 2 inovator terbaru di Hub Sulawesi Tengah didukung oleh kantor YEU di Palu.
Rasa ingin tahu membentuk dinamika aktivitas pertemuan reflektif, di mana para inovator baru berkesempatan mengunjungi "stan-stan" inovasi bagaikan pameran.
Media Sosial
@yakkumemergency
yakkumemergency
@YEUjogja