
“Mbok Seneng,” demikianlah orang-orang di desa menyapanya. Namanya adalah Seneng, dari bahasa Jawa yang berarti “bahagia.”1
Ketika Mbok Seneng mulai bertani, ia menanam jawut (juwawut), jali (jelai), dan wijen. Ia juga bertanam padi dan dan ketela, tapi hasil panennya untuk konsumsi keluarganya sendiri. Pada satu waktu, beragam jenis serealia dan palawija ditanam mengikuti kearifan lokal yang disebut orang Jawa sebagai tumpang sari, yaitu suatu cara menghindari pertanian monokultur demi keberlanjutan ekologis.
Variasi tanaman Mbok Seneng semakin meningkat seiring waktu. Terkadang, ia bertani jagung, kedelai, dan tembakau. Jagung dan ketela termasuk yang paling mudah dibudidayakan, sementara tembakau membutuhkan perhatian lebih. Selain itu, bawang merah relatif lama masa tunggunya hingga panen. Sekalipun dengan ragam perbedaan ini, semua tanaman Mbok Seneng memerlukan perhatiannya, dan juga memerlukan air.
Selama bertahun-tahun, Mbok Seneng menggendong air dengan cara memanggul jeriken (jerigen) air di satu sisi badan dengan tangannya, sembari mendaki perbukitan. Ia melakukannya sejauh 500 hingga 1.000 meter dari mata air terdekat yang disebut pego. Jika sumber airnya dekat dengan lahan Mbok Seneng, ia akan bolak-balik mengambil air 10 kali. Tetapi jika relatif lebih jauh, ia akan melakukannya sebanyak 5 kali untuk mengairi ladang.
Dengan irigasi kabut, Mbok Seneng tidak lagi membawa jeriken ini yang sebelumnya ia gunakan untuk mengairi lahan pertaniannya. Foto: Lorenzo Fellycyano
Mbok Seneng mulai melakukan pekerjaan fisik yang sangat berat ini sejak 1972 hingga beberapa tahun belakangan.2 Saat ini, Mbok Seneng dapat bernapas lega karena petak-petak sawahnya sudah ada di tangan yang tepat. Anak putranya yang bungsu, Sarjito, mengetuai sebuah tim inovator IDEAKSI3 untuk menerapkan irigasi kabut cerdas.4 Sebagai anggota Kelompok Tani Ngudi Mulya, Mbok Seneng memperoleh akses pengairan lahan di kala kemarau menggunakan sistem yang hemat air tersebut.
“Sistem baru ini tentu saja membantu saya. Harus ada tani modern buat Pak Jito (putra Mbok Seneng) biar lahan [warisan] bisa dikerjakan.”
– Mbok Seneng
Ia kini terhindar dari beban menggendong air naik-turun bukit, sekaligus menghemat hingga 70% uang yang dibelanjakan untuk membeli air dari truk tangki. Sembari mengurangi penggunaan air sebesar 40% dengan menggunakan sistem yang baru ini, Mbok Seneng bahkan dapat meningkatkan siklus tanam menjadi 2–3 kali setahun, naik dari sebelumnya yang hanya sekali per tahun.
Di sisi lain, kedua anak laki-laki Mbok Seneng bekerja di perangkat daerah di Kalurahan (Desa) Giriasih di Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Segala macam pekerjaan manual yang ia telah lakukan bertahun-tahun mesti diubah seiring dengan transformasi yang terus berlangsung di sektor pertanian ini. Kedua anaknya tidak mungkin bekerja di kantor sekaligus menggarap ladang tanpa otomasi, sebagaimana ditawarkan oleh inovasi IDEAKSI di Ngudi Mulya.
Sembari menatap masa tua, Mbok Seneng telah melihat perubahan diperkenalkan tidak hanya dari luar, tapi juga dari inisiatif masyarakat sendiri. Jelas, pertambahan usianya tidak menghalangi Mbok Seneng untuk terus aktif bergerak. Namun begitu, dengan lebih waktu yang ia dapat luangkan karena teknologi pertanian inovatif tersebut, kelima cucunya dapat lebih sering lagi membawa keceriaan menemani hari-harinya. Persis seperti doa yang tersirat dari namanya, Mbok Seneng.
Mbok Seneng mengeringkan gabah di rumahnya. Foto: Lorenzo Fellycyano
Ditulis oleh: Lorenzo Fellycyano
1 Mbok Seneng (aslinya bernama Senen) lahir tahun 1955. Ia telah bertani mandiri sejak lulus dari sekolah menengah pertama (SMP) pada 1972. Di tahun 1973, setahun setelah menjadi petani mandiri, ia menikah. Mempunyai suami tidak membuatnya terbatas di rumah dengan menjadi ibu rumah tangga. Ia saat ini masih menjadi petani yang energik, 50 tahun sejak pernikahannya.
Bertani mandiri dalam konteks Mbok Seneng berarti bercocok tanam di lahannya sendiri. Sebagaimana lazimnya di berbagai budaya di kepulauan Indonesia, anak-anak diharapkan membantu orang tuanya bekerja sebagai petani. Dengan demikian, mereka mengolah lahan selama sekian tahun sebelum akhirnya mereka siap bertanggung jawab terhadap ladang garapannya sendiri.
2 Ketika bisnis truk-truk tangki mulai mengantarkan air untuk pertanian, beban fisik Mbok Seneng berkurang. Untuk satu siklus pertanaman di satu lahan Mbok Seneng, tanaman seperti jagung memerlukan 4 tangki air.
Satu truk biasanya bermuatan satu tangki berkapasitas 5 meter kubik, setara 5.000 liter air. Satu tangki biasanya dihargai 120.000 rupiah. Untuk mengairi seluruh lahan Mbok Seneng yang berjumlah 10 petak, ia membutuhkan kurang lebih 5 juta rupiah. Ini dengan asumsi ia hanya menanam jagung, sementara kenyataannya tidak demikian. Jagung memerlukan lebih sedikit air. Biasanya, setiap 5 hari sekali, ia perlu mendapat air tangki.
Sebagian tanaman seperti jagung, cabai, dan tembakau ditanam di musim kemarau ketika air sukar untuk diperoleh, atau bagi petani Gunungkidul seperti Mbok Seneng, harganya mahal. Umum diketahui bahwa topografi Gunungkidul didominasi bebatuan kapur (karst). Meskipun air di permukaan langka, sungai-sungai besar mengalir di bawah lanskap perbukitan Kabupaten Gunungkidul. Petani biasanya dapat mengakses sumber daya ini dengan usaha bersama masyarakat. Akan tetapi, dampak lingkungan perlu sangat diperhatikan karena eksploitasi berlebihan pada sungai-sungai ini dapat membahayakan keberlangsungan manusia dan ekosistem secara keseluruhan.
Hari-hari kering tanpa hujan yang berkepanjangan di Gunungkidul dapat menyebabkan gagal panen, seperti hama wereng yang juga menyebabkan kerusakan tanaman pertanian. Akhir-akhir ini, Mbok Seneng juga menghindari menanam jagung, ketela, pepaya, dan kacang tanah. Hal ini akibat adanya serangan kera ekor panjang yang masih terus berlangsung di daerahnya. Sebabnya, kemungkinan besar, adalah kerusakan pada habitat alami kera-kera tersebut.
3 Program IDEAKSI (akronim dari Ide, Inovasi, Aksi, dan Inklusi) adalah bagian dari Community-Led Innovation Partnership (CLIP) atau Kemitraan untuk Inovasi Berbasis Komunitas yang dijalankan oleh YAKKUM Emergency Unit (YEU). Kemitraan ini mendukung munculnya solusi-solusi yang kembangkan secara lokal untuk masalah-masalah kemanusiaan di Republik Demokratik Kongo (ditangguhkan), Guatemala, Indonesia, dan Filipina. Sebagai bagian dari kemitraan tersebut, IDEAKSI berusaha mencari solusi-solusi inovatif dan inklusif untuk penanggulangan bencana bagi kelompok paling rentan, termasuk difabel dan lansia.
Melalui dukungan dari Elrha, Start Network, the Asia Disaster Reduction and Response Network (ADRRN) Tokyo Innovation Hub, dan pendanaan dari the UK Foreign, Commonwealth, and Development Office (FCDO), YEU dapat mengadakan IDEAKSI sebagai proyek CLIP di Indonesia.
4 Irigasi kabut cerdas (smart) adalah suatu inovasi pertanian yang dikembangkan oleh Kelompok Tani Ngudi Mulya, salah satu tim inovator IDEAKSI. Sistem ini mengairi lahan anggota kelompok dengan penghematan air hingga 60% di konteks lokalnya yang kesulitan air di Gunungkidul, Yogyakarta. Aspek ‘cerdas’ dari sistem ini membuat aktivitas pengairan menjadi suatu hal mudah melalui penjadwalan penyemprotan otomatis melalui aplikasi ponsel, tanpa harus hadir secara fisik di ladang.
Inovasi Ngudi Mulya ini menyediakan akses air yang mudah dan terjangkau untuk 25.000 meter persegi lahan yang dimiliki oleh 23 kepala keluarga. Selama proses pengerjaan inovasinya, Ngudi Mulya telah membawa manfaat bagi setidaknya 88 orang di komunitas tersebut.
Media Sosial
@yakkumemergency
yakkumemergency
@YEUjogja