
Di tengah hiruk-pikuk suasana menjelang Natal, kami dikejutkan oleh berita tsunami yang melanda Banten dan Lampung, pada malam 22 Desember 2018 tanpa peringatan dini. Sekejap pemberitaan sukacita Natal berubah menjadi duka. Ratusan orang kehilangan nyawanya dan ribuan lainnya terluka, BNPB menyatakan 437 orang meninggal dunia, 9.061 orang luka, 10 orang hilang, 16.198 orang mengungsi dan sebanyak 1.071 rumah rusak berat dan rusak sedang,
Dering telepon tak henti-henti berbunyi. Sebagai Koordinator Tanggap Darurat YEU, saya berusaha menelpon jejaring YEU di lokasi terdampak, namun hingga subuh menjelang, kabar tak kunjung datang. Beruntung, tanggapan cepat dari Pemerintah, praktisi bencana, dan forum-forum bencana online memberikan informasi dari jejaring mereka.
Keesokan harinya, informasi tentang kondisi semakin lengkap. Kerusakan infrastrukur, warga mengungsi ke wilayah yang tinggi, fasilitas publik yang rusak dan bantuan kebutuhan dasar yang belum ada hingga siang hari. Berdasarkan penjelasan dari Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), tsunami terjadi karena sekitar 64 hektar bagian dari Gunung Anak Krakatau (yang telah beberapa kali erupsi kecil sejak Juni) runtuh dan menyebabkan longsor bawah laut dan memicu tsunami. Pandeglang dan Serang di Kabupaten Banten dan Kabupaten Lampung Selatan adalah wilayah yang paling terdampak paling parah. Namun, Kabupaten Lampung Selatan kurang mendapat perhatian dibandingkan dengan Banten, yang secara geografis terletak di pulau Jawa di mana akses ke bantuan lebih mudah.
Tsunami senyap melanda garis pantai Kabupaten Lampung Selatan dan merusak infrastruktur utama - jalan antara desa terputus, dan fasilitas publik rusak berat. Masyarakat yang tinggal di tepi pantai mengungsi ke bukit-bukit untuk menyelamatkan hidup mereka, khawatir akan ada tsunami susulan. Titik pengungsian tersebar di perbukitan sehingga akses untuk memberikan bantuan kemanusiaan pun terhambat, apalagi ada jalan yang sempat terputus.
YEU memprioritaskan respons di Kabupaten Lampung Selatan. Setelah beberapa hari, kami akhirnya dapat terhubung dengan GKSBS (Gereja Kristen di Sumatera Bagian Selatan) dan Rumah Sakit Mardi Waluyo — salah satu rumah sakit YAKKUM yang berlokasi di Metro Lampung. Unit Pengembangan Kesehatan Masyarakat (UPKM) RS Mardi Waluyo menjalankan klinik kecil di Desa Rajabasa— salah satu desa yang paling terkena dampak tsunami. Bangunan klinik rusak ringan, namun masih bisa memberikan layanan kesehatan kepada mereka yang terdampak.
Bersama, tim medis dari RS Mardi Waluyo YEU melakukan layanan kesehatan keliling dan bekerjasama dengan Bidan Desa Rajabasa mendirikan Pos Kesehatan Darurat di Rajabasa yang buka 24 jam. Tim relawan dari GKSBS juga membantu melakukan penilaian cepat di tempat pengungsian dan melaporkannya pada YEU.
YEU terus bertukar informasi baik terkait kebutuhan mendesak maupun informasi terkini dengan jejaring organisasi berbasis keimanan yang juga melakukan respons di Lampung Selatan.
Ketika periode tanggap darurat berakhir, YEU bersama penyintas yang tinggal di pengungsian sementara mendiskusikan manajemen tempat pengungsian yang aman bagi penyintas, dukungan medis dan psikososial dan distribusi barang-barang non-makanan. Gereja setempat berperan dalam mengoordinasikan gereja-gereja lain di seluruh Indonesia yang bersedia membantu mereka yang terkena dampak.
Kolaborasi antara organisasi berbasis keimanan sangat penting selama keadaan darurat. Sebagaimana terbukti dalam kasus respons Selat Sunda, organisasi berbasis dipercaya oleh masyarakat dan dapat mengakses yang paling rentan. Selain itu, prinsip akuntabilitas dan mekanisme komplain yang dijelaskan oleh YEU kepada penyintasmemainkan peran penting dalam seluruh proses, membangun kepercayaan antara masyarakat sebagai garda terdepan dan pelaku kemanusiaan.
Ditulis oleh: Arnice Ajawaila (Koordinator Tanggap Darurat YEU)
Media Sosial
@yakkumemergency
yakkumemergency
@YEUjogja